Sabtu, 14 November 2009

Wawasan Nusantara

wawasan nusantara
Latar belakang dan proses terbentuknya wawasan nusantara setiap bangsa
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh, Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: "Brittain rules the waves". Ini berarti tanah Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis, Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat wasantara. Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah (contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
• Satu kesatuan wilayah
• Satu kesatuan bangsa
• Satu kesatuan budaya
• Satu kesatuan ekonomi
• Satu kesatuan hankam.
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat, dalam "koridor" wasantara.
Konsep geopolitik dan geostrategi
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga wilayahnya adalah laut membentang ke utara dengan pusatnya di pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. , sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman.

Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia
Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan Tap. MPR No.IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Dekrarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957.
Pengertian dan hakekat wawasan nusantara
Wawasan Nusantara adalah cara pandang Bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan
1. Ekologi di Indonesia
Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga oleh beberapa pihak wilayah ekologi Indonesia disebut dengan istilah "Mega biodiversity" atau "keanekaragaman mahluk hidup yang tinggi"[65][66] umumnya dikenal sebagai Indomalaya atau Malesia bedasarkan penelitian bahwa 10 persen tumbuhan, 12 persen mamalia, 16 persen reptil, 17 persen burung, 25 persen ikan yang ada di dunia hidup di Indonesia, padahal luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas Bumi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia ranking ke-3 setelah Brasil dan Zaire.
2. Budaya
Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh Malaysia dengan industri batiknya.[53] Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatra Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.
Pengaruh yang paling dominan dalam arsitektur Indonesia adalah arsitektur India; namun terdapat pula pengaruh dari arsitektur Tiongkok, Arab, dan Eropa.
Olahraga yang paling populer di Indonesia adalah badminton dan sepak bola; Liga Super Indonesia adalah liga klub sepak bola utama di Indonesia. Olahraga tradisional termasuk sepak takraw dan karapan sapi di Madura. Di wilayah dengan sejarah perang antar suku, kontes pertarungan diadakan, seperti caci di Flores, dan pasola di Sumba. Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan musik tradisional Indonesia berupa gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai dengan daerah asalnya. Olahraga di Indonesia biasanya berorientasi pada pria dan olahraga spektator sering berhubungan dengan judi yang ilegal di Indonesia.[54] Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta,[55] yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yang dipengaruhi oleh musik Arab, India, dan Melayu.
Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia 'dicuri' oleh negara lain[56] untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni budaya dari Indonesia. Alat musik tradisional Indonesia antara lain meliputi:
• Angklung
• Bende
• Calung
• Dermenan
• Gamelan
• Gandang Tabuik
• Gendang Bali
• Gendang Karo
• Gendang Melayu
• Gong Kemada
• Gong Lambus
• Jidor
• Kecapi Suling
• Kendang Jawa
• Kenong
• Kulintang
• Rebab
• Rebana
• Saluang
• Saron
• Sasando
• Serunai
• Seurune Kale
• Suling Lembang
• Suling Sunda
• Talempong
• Tanggetong
• Tifa, dan sebagainya
Beberapa makanan Indonesia: soto ayam, sate kerang, telor pindang, perkedel dan es teh manis.
Masakan Indonesia bervariasi bergantung pada wilayahnya.[57] Nasi adalah makanan pokok dan dihidangkan dengan lauk daging dan sayur. Bumbu (terutama cabai), santan, ikan dan ayam adalah bahan yang penting.[58] Popularitas industri film Indonesia memuncak pada tahun 1980-an dan mendominasi bioskop di Indonesia,[59] meskipun kepopulerannya berkurang pada awal tahun 1990-an.[60] Antara tahun 2000 hingga 2005, jumlah film Indonesia yang dirilis setiap tahun meningkat.[59]
Bukti tulisan tertua di Indonesia adalah berbagai prasasti berbahasa Sanskerta pada abad ke-5 Masehi. Figur penting dalam sastra modern Indonesia termasuk: pengarang Belanda Multatuli yang mengkritik perlakuan Belanda terhadap Indonesia selama zaman penjajahan Belanda; Muhammad Yamin dan Hamka yang merupakan penulis dan politikus pra-kemerdekaan;[61] dan Pramoedya Ananta Toer, pembuat novel Indonesia yang paling terkenal.[62] Banyak orang Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, yang membantu mendefinisikan dan memelihara identitas budaya mereka.[63] Kebebasan pers di Indonesia meningkat setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Stasiun televisi termasuk sepuluh stasiun televisi swasta nasional, dan jaringan daerah yang bersaing dengan stasiun televisi negeri TVRI. Stasiun radio swasta menyiarkan berita mereka dan program penyiaran asing. Dilaporkan terdapat 20 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2007.[64] Penggunaan internet terbatas pada minoritas populasi, diperkirakan sekitar 8.5%.

3. Ekonomi
Protes melawan IMF, organisasi yang terlibat dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia, di Jakarta.
Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara.[32]
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing.[32] Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981.[32] Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali,[32] selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997[33] Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,[34] yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut.[35] Namun demikian, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam mempengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75%.[36][37] Perkiraan tahun 2006, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan terdapat 49,0% masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2 per hari.[38]
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.[39] Sektor jasa adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3% untuk PDB 2005. Sedangkan sektor industri menyumbang 40,7%, dan sektor pertanian menyumbang 14,0%.[40] Meskipun demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainnya, yaitu 44,3% dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8%.[41]
Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara jirannya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.
Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Lembaga Transparency International menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-143 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang dikeluarkannya pada tahun 2007.[42]
Bank sentral Indonesia yaitu Bank Indonesia.
4. Peringkat internasional
Organisasi Nama Survey Peringkat
Heritage Foundation/The Wall Street Journal
Indeks Kebebasan Ekonomi
110 dari 157[43]

The Economist
Indeks Kualitas Hidup
71 dari 111[44]

Reporters Without Borders
Indeks Kebebasan Pers
103 dari 168[45]

Transparency International
Indeks Persepsi Korupsi
143 dari 179[46]

United Nations Development Programme
Indeks Pembangunan Manusia
108 dari 177[47]

Forum Ekonomi Dunia
Laporan Daya Saing Global
51 dari 122[48]

5. Demografi
Menurut sensus penduduk 2000, Indonesia memiliki populasi sekitar 206 juta,[49] dan diperkirakan pada tahun 2006 berpenduduk 222 juta.[3] 130 juta (lebih dari 50%) tinggal di Pulau Jawa yang merupakan pulau berpenduduk terbanyak sekaligus pulau dimana ibukota Jakarta berada.[50] Sebagian besar (95%) penduduk Indonesia adalah bangsa Melayu,[51] dan terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia terutama di Indonesia bagian Timur. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak.
Selain itu juga ada penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas diantaranya adalah etnis Tionghoa, India, dan Arab. Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari Nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 4 juta populasi etnis Tionghoa.[51] Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya.
Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia, yang menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.[39] Sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Selain agama-agama tersebut, pemerintah Indonesia juga secara resmi mengakui Konghucu.[52]
Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, bahasa Indonesia, diajarkan di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
l • d • s
Kota-kota besar di Indonesia

Kota Provinsi Populasi Kota Provinsi Populasi
1 Jakarta
DKI Jakarta
8.489.910
Indonesia 7 Semarang
Jawa Tengah
1.393.000
2 Surabaya
Jawa Timur
3.230.900 8 Makassar
Sulawesi Selatan
1.130.384
3 Bandung
Jawa Barat
2.510.982 9 Bandar Lampung
Lampung
951.836
4 Medan
Sumatra Utara
2.392.922 10 Bogor
Jawa Barat
834.000
5 Tangerang
Banten
1.488.666 11 Balikpapan
Kalimantan Timur
789.990
6 Palembang
Sumatra Selatan
1.441.500 12 Padang
Sumatra Barat
787.740
Sumber: BPS

6. Etimologi
Kata "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "Hindia" dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau".[4] Jadi, kata Indonesia berarti wilayah Hindia kepulauan, atau kepulauan yang berada di Hindia, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat.[5] Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu".[6] Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[7] Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[8]
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkaran akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[9] Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau di tahun 1913.[5]
7. Sejarah
Peninggalan fosil-fosil Homo erectus, yang oleh antropolog juga dijuluki "Manusia Jawa", menimbulkan dugaaan bahwa kepulauan Indonesia telah mulai berpenghuni pada antara dua juta sampai 500.000 tahun yang lalu.[10] Bangsa Austronesia, yang membentuk mayoritas penduduk pada saat ini, bermigrasi ke Asia Tenggara dari Taiwan. Mereka tiba di sekitar 2000 SM, dan menyebabkan bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu di sana terdesak ke wilayah-wilayah yang jauh di timur kepulauan.[11] Kondisi tempat yang ideal bagi pertanian, dan penguasaan atas cara bercocok tanam padi setidaknya sejak abad ke-8 SM,[12] menyebabkan banyak perkampungan, kota, dan kerajaan-kerajaan kecil tumbuh berkembang dengan baik pada abad pertama masehi. Selain itu, Indonesia yang terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar pulau, telah menjadi jalur pelayaran antara India dan China selama beberapa abad.[13] Sejarah Indonesia selanjutnya mengalami banyak sekali pengaruh dari kegiatan perdagangan tersebut.[14]
Di bawah pengaruh agama Hindu dan Buddha, beberapa kerajaan terbentuk di pulau Sumatra dan Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-14. Tarumanagara, sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Pemerintahan Tarumanagara dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda dari tahun 669M sampai 1579 M. Sriwijaya muncul di abad ke-7 sebagai kerajaan maritim yang perkasa dengan kekuasaannya mengontrol perdagangan di Selat Malaka dan sekitarnya.[15] Antara abad ke-8 dan ke-10, wangsa-wangsa Syailendra dan Sanjaya berhasil mengembangkan kerajaan-kerajaan berbasis agrikultur di Jawa, dengan peninggalan bersejarahnya seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Di akhir abad ke-13, Majapahit berdiri di bagian timur pulau Jawa. Di bawah pimpinan mahapatih Gajah Mada, kekuasaannya meluas sampai hampir meliputi wilayah Indonesia kini; dan sering disebut "Zaman Keemasan" dalam sejarah Indonesia.[16]
Kedatangan pedagang-pedagang Arab dan Persia melalui Gujarat, India, kemudian membawa agama Islam. Selain itu pelaut-pelaut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang beragama Islam, juga pernah menyinggahi wilayah ini pada awal abad ke-15.[17]
Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel.[18] Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.
Di bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem ini dihapus. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Kebijakan Beretika,[19] yang termasuk reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia-Belanda.
Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda dijajah oleh Jerman, Jepang menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia; setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, kelompok pimpinan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.
Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal sebagai 'aksi polisi' (Politionele Actie).[20] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutamanya Amerika Serikat. Republik Indonesia Serikat bubar pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia menjadi negara kesatuan kembali. Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti gerakan non-blok pada awalnya dan kemudian dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Cina dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[21] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno kini sendiri makin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. 32 tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.
Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata, di Indonesia. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekomomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom-ekonom lulusan departemen ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[22] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.
Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004 pemilu satu hari terbesar di dunia[23] diadakan dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur akhirnya resmi memisahkan diri pada tahun 2002 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.
Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.
8. Politik dan pemerintahan
Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara. Namun setelah amandemen ke-4 MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi. Keanggotaan MPR berubah setelah Amandeman UUD 1945 pada periode 1999-2004. Seluruh anggota MPR adalah anggota DPR, ditambah dengan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).[24] Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua. Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. MPR saat ini diketuai oleh Hidayat Nur Wahid. Anggota MPR saat terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. DPR saat ini diketuai oleh Agung Laksono, sedangkan DPD saat ini diketuai oleh Ginandjar Kartasasmita.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.
9. Pembagian administratif
Indonesia saat ini terdiri dalam 33 provinsi, lima di antaranya daerah istimewa. Tiap provinsi memiliki badan legislatur dan gubernur. Provinsi dibagi menjadi kabupaten dan kota, yang dibagi lagi menjadi kecamatan dan lagi menjadi kelurahan dan desa.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat memiliki hak istimewa legislatur yang lebih besar dan tingkat otonomi yang lebih tinggi dari pemerintahan pusat daripada provinsi lainnya. Contohnya, pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam memiliki hak untuk membentuk sistem legal sendiri; pada tahun 2003, Aceh mula menetapkan hukum Syariah.[25] Yogyakarta mendapatkan status Daerah Khusus sebagai pengakuan terhadap peran penting Yogyakarta dalam mendukung Indonesia selama Revolusi Indonesia.[26] Provinsi Papua, sebelumnya disebut Irian Jaya, mendapat status otonomi khusus tahun 2001.[27] Jakarta adalah daerah khusus ibukota negara. Timor Portugis digabungkan ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi provinsi Timor Timur pada 1979–1999, yang kemudian memisahkan diri melalui referendum menjadi Negara Timor Leste.[28]
Provinsi di Indonesia dan ibukotanya
Sumatra
• Nanggroe Aceh Darussalam - Banda Aceh
• Sumatra Utara - Medan
• Sumatra Barat - Padang
• Riau - Pekanbaru
• Kepulauan Riau - Tanjung Pinang
• Jambi - Jambi
• Sumatra Selatan - Palembang
• Kepulauan Bangka Belitung - Pangkal Pinang
• Bengkulu - Bengkulu
• Lampung - Bandar Lampung
Jawa
• Daerah Khusus Ibukota Jakarta - Jakarta
• Banten - Serang
• Jawa Barat - Bandung
• Jawa Tengah - Semarang
• Daerah Istimewa Yogyakarta - Yogyakarta
• Jawa Timur - Surabaya
Kepulauan Sunda Kecil
• Bali - Denpasar
• Nusa Tenggara Barat - Mataram
• Nusa Tenggara Timur - Kupang
Kalimantan
• Kalimantan Barat - Pontianak
• Kalimantan Tengah - Palangkaraya
• Kalimantan Selatan - Banjarmasin
• Kalimantan Timur - Samarinda
Sulawesi
• Sulawesi Utara - Manado
• Gorontalo - Gorontalo
• Sulawesi Tengah - Palu
• Sulawesi Barat - Mamuju
• Sulawesi Selatan - Makassar
• Sulawesi Tenggara - Kendari
Maluku
• Maluku - Ambon
• Maluku Utara - Ternate
Papua
• Papua Barat - Manokwari
• Papua - Jayapura

10. Geografi
Indonesia memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni[29], yang menyebar disekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BB - 141°45'BT serta terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania.
Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatera dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas 421.981 km². Batas wilayah Indonesia searah penjuru mata angin, yaitu:
Batas wilayah:
↑Utara:
Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut Cina Selatan

↓Selatan:
Negara Australia, Timor Leste, dan Samudra Indonesia

←Barat:
Samudra Indonesia

→Timur:
Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudra Pasifik

Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonik, yang berarti Indonesia rawan terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami.[30] Indonesia juga banyak memiliki gunung berapi[31], salah satu yang sangat terkenal adalah gunung Krakatau, terletak di selat Sunda antara pulau Sumatra dan Jawa.
Pranala luar
Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006,[3] Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden yang dipilih langsung. Ibukota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan secara politis paling dominan. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika" ("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi besar dan wilayah yang padat, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.


Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia berisi :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sejarah

Sejarah
Pada hari Minggu malam jam 23.00, tgl 8 Maret 1942 radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) yang me-mancarkan gelombangnya melalui stasiun darurat di Ciumbuluit untuk terahir kalinya menyiarkan siarannya kedunia bebas. Penyiar Bert Garthoff sempat menyampaikan salam terahir : “Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin !” yang artinya : “Kami tutup siaran ini sekarang, Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali diwaktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu !” Beberapa jam sebelumnya, pada hari Minggu sore jam 17.15 memang telah terjadi peristiwa besar yaitu Kapitulasi Belanda kepada Jepang bertempat dilapangan terbang militer Kalijati Subang. Semua kejadian ini merupakan kelanjutan serangan Jepang ke Asia Tenggara dalam rangka Perang Pasifik yang mereka namakan “Perang Asia Timur Raya” atau “Dai Toa Shenso”. Sejak serangan ke Pearl Harbor tgl 7 Desember 1941, pukulan keselatan kekuatan militer Jepang selanjutnya nampaknya tidak banyak mengalami hambatan. Dalam waktu singkat, Bastion Inggris yaitu Hongkong dan Singapura segera jatuh. Demikian pula Filipina sebagai benteng Amerika dan terahir Hindia Belanda yang merupakan Imperium Kerajaan Belanda. Kekuasaan militer Barat nampak dengan mudah menjadi bulan-bulan pasukan kate dari utara ini. Dan yang paling tragis adalah kekuasaan militer sekutu ABDA (American, British, Dutch dan Australia) di Jawa dengan mudah dipatahkan dalam waktu 5 hari saja. Sebenarnya Komando ABDA (ABDACOM) pada sekitar pertengahan Februari 1942 sudah dibubarkan yang kemudian disusul perginya Laksamana Sir Archibald Wavell selaku pimpinan ABDA. Selanjutnya kekuatan sekutu lainnya berada dibawah pimpinan Panglima tertinggi militer Belanda. Sebagaimana konstitusi, yang menjadi Panglima tertinggi adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya dimana peperangan telah dimenangkan Jepang diberbagai tempat dan mereka sedang menuju Jawa, pada tgl 4 Maret 1942 pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, telah diserah terimakan kepada Panglima KNIL, Let.Jen. Terporten. Oleh karena itulah dalam Kapitulasi Kalijati, bertindak sebagai penyerah kekuasaan dari fihak Belanda pada saat itu adalah Panglima tentara sekutu di Hindia Belanda, Let.Jen Terporten. Sedangkan dari fihak Jepang sebagai penerima adalah Let.Jen Hithoshi Immura, panglima tentara ke 16 kerajaan Jepang yang ditugaskan di Pulau Jawa. Pada hari ini (tgl 8 Maret 1942) tidak begitu banyak yang dibicarakan terutama karena pertemuan resmi baru terjadi setelah hampir jam 18.00. Tetapi yang pasti pernyataan menyerah terjadi pada tgl 8 Maret 1942. Hari tersebut sungguh berat bagi kelompok Belanda. Apalagi petinggi Hindia Belanda ini baik sipil maupun militer termasuk Gubernur Jenderalnya disuruh menunggu sejak pagi hari karena harus menanti tibanya Let.Jen Imamura yang terlambat dan baru tiba pada jam 17.00 di Kalijati. Mereka mengalami tekanan fisik dan mental tampa dikasi makan serta sempat mengalami derasnya hujan yang terjadi menjelang sore hari. Esok harinya Senin tgl 9 Maret 1942, jam 6.00 pagi NIROM ternyata masih membuka siarannya dengan lagu kebangsaan “Wilhelmus”. Kemudian pada jam 6.30 dilanjutkan dengan pengumuman resmi pemerintah yang disampaikan oleh seorang perwira tinggi dari staf Jenderal atas nama Panglima, tentang “ penghentian perang dan penyerahan militer”. Masih dikumandangkannya lagu Wilhelmus sampai tanggal 18 Maret 1942 ternyata berbuntut panjang. Fihak penguasa Jepang menganggapnya sebagai pembangkangan yang berakibat ikut campurnya fihak Kempe Tai (polisi militer). Sejumlah petugas radio ditangkap dan sebagian dari mereka atas perintah Imamura dipancung kepalanya dengan Samurai di Ancol, termasuk kepala siaran umum P.Kusters. Tgl 9 Maret perundingan dilanjutkan tampa turut sertanya Gubernur Jenderal, Perundingan ditutup dengan penandatanganan pernyataan kekalahan perang oleh fihak Belanda mewakili pasukan sekutu di Indonesia. Ada misteri tentang peristiwa besar ini. Fihak Jepang membuat pernyataan yang bisa dibaca dalam memoir Jenderal Imamura bahwa disamping dukumen kekuatan sekutu di Indonesia, sempat ditandatangani protocol Kapitulasi atau penyerahan dari Belanda kepada Jepang. Tapi fihak Belanda menyangkal hal tersebut, seolah penyerahan total secara tertulis tidak pernah terjadi. Apalagi menjelang berahirnya kekuasaan Jepang pada tahun 1945, banyak sekali dokumen-dokumen yang dibakar. Mungkin dokumen itu terdapat didalamnya.Gubernur Jenderal Mr A.W.L Tjarda van Starkenborgh nampaknya tidak terlibat langsung dalam Kapitulasi ini karena disini terjadi semacam tipu muslihat politik yang menggambarkan seolah-olah Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menyerah kepada Jepang. Apa yang terjadi di Kalijati semata-mata hanya penyerahan fihak militer sekutu saja yang diwakili Let.Jen Terporten. Hal ini cukup beralasan karena 3 hal. Yaitu perintah dari Sri Ratu Belanda agar Hindia Belanda tidak menyerah. Yang kedua sejak tanggal 4 Maret 1942 Gubernur Jenderal tidak lagi menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang Hindia belanda, dan yang ketiga antara tgl 5-7 Maret, sejumlah pimpinan Pemerintahan Hindia Belanda yang diketuai Letnan Gubernur Jenderal van Mook telah hijrah ke Australia. Mereka mendirikan Pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan, tepatnya dikota Brisbane, Namun dalam perundingan di Kalijati tgl 8 Maret 1942, fihak Jepang tidak mau tau apa yang terjadi di Hindia dan menganggap secara defakto maupun dejure Imperium Nederland di timur jauh ini sudah takluk kepada Kekaisaran Jepang. Mungkin saja sebagai ahli hukum, Starkenborgh menganggap pemerintahan sipil dapat berjalan terus dibawah kekuasaan militer Jepang, tapi itu hanya mimpi sejenak disiang bolong. Setelah hampir sebulan lamanya mengalami tahanan rumah, Pada tgl 6 April 1942 malam hari Starkenborg bersama seluruh stafnya diangkut dan dipenjara dirumah tahanan “Soekamiskin”. Sebuah penjara kolonial yang pernah memenjarakan Ir Soekarno. Dan 11 hari kemudian, pada tanggal 17 April rombongan tawanan para pemimpin Pemerintah Hindia Belanda dibawa ke Batavia dimana mereka dibagi dua. Para anggota militer ditawan di battalion X (jl Kwini sekarang) dan yang sipil ditawan dipenjara Struyswijck (penjara Salemba). Starkenborgh termasuk yang ditawan di battalion X. Menjelang ahir perang (tahun 1944) dirinya dievakuasi dari Jawa dan secara rahasia ditawan di Manchuria sampai dibebaskan pasukan Amerika Serikat pada tahun 1945. Dokumen tertulis mengenai peristiwa Kapitulasi Belanda kepada Jepang pada tanggal 8 dan 9 Maret 1942 dilapangan Kalijati Subang hampir tidak pernah ditemui.
Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana Menteri Belanda. Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal van Heutz. Sekitar tahun 1927 – 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tampa dibagi dalam wilayah-wilayah.[1]
Bukan suatu kebetulan, bahwa pernyataan Colijn tersebut memunculkan Kongres Pemuda yang kedua pada tgl 28 Oktober 1928 di Batavia, dimana diikrarkan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Peristiwa ini kita kenang sebagai hari Sumpah Pemuda.
Sejak tahun 1915 telah berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi. Namun semua organisasi tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Yang mungkin sedikit berbeda adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926. PPPI merupakan wadah pemuda nasionalis radikal non kedaerahan. Tokoh-tokohnya adalah Sigit[2], Soegondo Djojopoespito, Suwirjo, S. Reksodipoetro, Muhammad Yamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. Atas prakarsa PPPI kongres ke II diadakan.
Dalam penerbitan P.I (koran Pemoeda Indonesia) no 8 tahun 1928, terdapat artikel dengan judul “KERAPATAN PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA”. Disitu dijelaskan :
sebagaimana yang telah diwartakan dalam P.I no.6 dan 7, di Jacatra telah diadakan kerapatan besar Pemoeda-pemoeda Indonesia pada tanggal 27 dan 28 Oktober. Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen. Selanjutnya juga diberitakan bahwa kerapatan dikunjungi beratus-ratus orang, dimana bagi siapa yang menyaksikan sendiri akan berbesar hati karena pemoeda-pemoeda kita bukan baru mencita-citakan saja, tapi telah tegak berdiri dipusat persatuan dan kebangsaan . Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R.Soepratman, lagu INDONESIA RAJA [3]
Dalam POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA, tercatat bahwa Poetra dan Poetri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai realisasi penyatuan ini, pada tanggal 31 Desember 1930 jam 12 malam, Jong Java, Perhimpunan Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda Soematra (awalnya bernama Jong Sumatranen Bond) telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan “INDONESIA MOEDA”.
Para anggota panitia Kongres Pemuda ke II[4] terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia yang dikemudian hari amat berperan dalam gerakan pemuda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan. Diantaranya terdapat nama, Soegondo Djojopoespito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond (Sekretaris), Amir Sjarifudin dari Jong Sumatranen Bond (bendahara), Djohan Mu.Tjai dari Jong Islamieten Bond. Kontjosoengkoeno dari P.I, Senduk dari Jong Celebes, J.Lemeina dari Jong Ambon dan Rohyani dari Pemoeda Kaum Betawi. Panitia didukung tokoh-tokoh senior seperti Mr.Sartono, Mr.Muh Nazif, A.I.Z Mononutu, Mr.Soenario. Dalam kongres ikut berbicara tokoh-tokoh besar kebangsaan lainnya seperti S. Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantoro dan Djokosarwono .
Hadir sebagai undangan sekitar 750 orang dimana terdapat nama-nama yang kemudian terkenal seperti Kartakusumah (PNI Bandung), Abdulrachman (B.O Jakarta), Karto Soewirjo (P.B Sarekat Islam), Muh. Roem, Soewirjo, Sumanang, Masdani, Anwari, Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimedjo, Saerun (wartawan Keng Po), WR Supratman. Dari Volksraad yang hadir adalah Soerjono dan Soekawati dan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah Dr.Pyper dan Van der Plas[5].
Jelas bahwa kongres pemuda ke II dimana diikrarkan Sumpah Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan terang juga bukan hasil usaha dari beberapa gelintir orang saja[6]. Hal ini merupakan perjuangan panjang sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A,Rivai lulus ujian dokter sebagai Nederland Arts di Utrecht Belanda, pupus sudahlah anggapan jelek bahwa bangsa Indonesia itu “Laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas, tidak punya kemauan bekerja atau berbuat sesuatu.
Setelah Indonesia muda terbentuk, berarti pemuda Indonesia memiliki organisasi kepemudaan nasional yang solid, kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan yang lebih pasti. Anggota IM terdiri dari semua pemuda seperti anak-anak SLP, SLA, sekolah khusus, kejuruan sederajat dan mahasiswa. Sejak tahun 1931 kongres demi kongres diadakan sehingga lebih menampakkan eksistensinya. Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan diatas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berahir ketika penjajah terahir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Tidak sampai 1 tahun kemudian, RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950.
[1] H.Colijn. Koloniale vraagstukken van heden en morgen.Amsterdam : De Standard. 1928, hal 59-60. Pernyataan ini amat sakit buat hati para pemuda. Soekarno dan Sjahrir segera bereaksi. Dikatakannya : Usaha untuk kembali memisahkan orang Indonesia satu sama lain sebagai orang Jawa, orang Sunda, atau orang Sumatera adalah suatu rekayasa jahat, divide et impera, suatu muslihat yang khas Colijnialism
[2] Sigit ketua pertema dan Soegono ketua kedua.
[3] Koran P.I.no.8 tahun 1928.
[4] Kongres kedua diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Resminya ada 3 kali rapat. Yang pertama dan kedua pada tanggal 27 Oktober 1928, mengambil tempat di gedung Katholieke Jongelingen Bond dan gedung Oost Java Bioskop. Yang terahir pada tanggal 28 Oktober 1928, minggu malam senin bertempat di gedung Indonesisch Clubgebouw (IC), Kramat 106 Jakarta.
[5] Yayasan Gedung Bersejarah, 45 tahun Sumpah Pemuda, 1974, hal 59-60
[6] Hanifah Abu, renungan tentang sumpah pemuda.dalam Bunga rampai Soempah Pemoeda. Balai Pustaka.
Adakah perang di Lengkong pada tanggal 25 Januari 1946 ?
Mencermati usaha pihak TNI untuk mengangkat Hari Bakti Taruna menjadi kegiatan nasional yang nantinya akan diadakan setiap tahun bertempat di Akademi Militer Magelang maka patut rasanya kita bersyukur. Hal ini merupakan uluran tangan Pemerintah yang tidak ada taranya, yang besar artinya bagi pelestarian nilai-nilai juang angkatan 45. Dalam gagasan pihak TNI, semua kegiatan yang diadakan di Jawa Tengah tersebut, sifatnya sebagai simbul perjuangan para taruna, ikut berpartisipasi dalam Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia periode tahun 1945-1949.
Yang dimaksud taruna disini, adalah kadet Akademi Militer Nasional dari seluruh Indonesia yang ada pada waktu itu.
Hari Bakti Taruna selama ini hanya diadakan dalam rangka upacara untuk memperingati gugurnya sejumlah kadet Akademi Militer Tanggerang dan 3 perwira TKR dalam “Peristiwa Lengkong” di Serpong Tanggerang pada tanggal 25 Januari 1946.
Menurut sejarah perjuangan yang telah sempat ditulis, pada tanggal 25 Januari 1946, atas prakarsa Kantor Penghubung Tentara yang berlokasi di jalan Cilacap no.5 Jakarta, telah diadakan rencana untuk pengambil alihan perlengkapan militer milik satu pasukan setingkat kompi yang berada dalam markas mereka didesa Lengkong Serpong Tanggerang Jawa Barat. Pasukan Jepang ini dipimpin seorang perwira Jepang berpangkat Kapten, bernama Abe. Rencana ini tidak mungkin dilaksanakan menurut prosedur, yaitu melalui persetujuan dan izin pihak sekutu yang telah muncul sebagai pemenang perang dunia ke II dan memiliki tugas dan tanggung jawab perlucutan tentara Jepang. Maka timbullah gagasan dari pihak kantor penghubung dan Mayor Daan Jahja selaku kepala staf Resimen IV di Tanggerang untuk meminta bantuan Let.Kol Myamoto yang jabatannya saat itu adalah pembantu khusus May.Jen Yamamoto selaku GunSeiKan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara ke 16 Jepang di Jawa). Apa bila hal tersebut bisa diterima dan disetujui Myamoto, maka kemudian timbul pertanyaan. Atas kompetensi apa pihak Jepang mengatur dan melaksanakan hal itu, mengingat sejak tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang telah menyerah tampa syarat dan mematuhi keputusan Postdam. Ketika pihak kantor penghubung mencoba mencari Myamoto, ternyata yang bersangkutan sedang berada di Bandung untuk suatu urusan. Dan mungkin karena waktu sudah sangat mendesak, dimana rencana itu harus segera dilaksanakan. Atas prakarsa pihak Kanntor Penghubung Tentara Jakarta dan Resimen 4 Tanggerang, dibuatlah tipu muslihat untuk mengelabui pimpinan Kompi Jepang di Lengkong. Caranya adalah dengan mengikut sertakan 6-7 orang tentara sekutu berkewarganegaraan India, sehingga seolah-olah benar rombongan yang akan mengoper perlengkapan militer tersebut adalah atas persetujuan pihak sekutu. Dalam pelaksanaan tugas, telah ditunjuk Mayor Wibowo Moekiman sebagai wakil dari Kantor Penghubung, Kapten Soebianto dan Letnan Soetopo selaku wakil dari Resimen 4 Tanggerang. Sebagai pimpinan rombongan rupanya disepakati Mayor Dan Mogot. Perwira senior dari wilayah resimen 4 yang juga menjabat direktur Akademi Militer Tanggerang. Rombongan juga mengikut sertakan sejumlah Taruna Akademi Militer Tanggerang yang saat itu telah menjalankan masa pendidikan militer perwira selama 3 bulan lamanya.
Dengan menumpang sebuah Jeep dan dua buah truk, rombongan telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, antara lain sudah sempat dilakukannya penempatan sejumlah senjata oleh para taruna keatas truk. Tapi ketika proses itu sedang berlangsung, tiba-tiba terjadilah peletusan tembakan senjata yang sumber dan arahnya tidak diketahui dari mana. Semua berjalan sangat cepat, dimana pihak Jepang telah merebut senjata-senjatanya kembali dan bersikap siap tempur dan melakukan tembakan-tembakan kearah para Taruna. Pada awalnya mungkin telah terjadi kekacauan, tapi selaku pasukan Combatant berpengalaman, tentu saja pasukan Jepang lebih sempurna berada dalam situasi siap tempur. Karena kurang pengalaman dan mungkin juga berada pada tempat terbuka, kelompok Taruna dengan mudah menjadi sasaran empuk pihak penyerang. Killing Field ini terletak diantara kebun karet yang terletak persis dimuka markas tentara Jepang di Lengkong yang saat ini masih bisa dilihat lokasinya. Dalam peristiwa ini telah gugur sebanyak 33 orang Taruna dan 3 orang perwira TKR
Sekarang timbul pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 25 Januari 1946 didesa Lengekong tersebut ? sebagai Peristiwa kebetulan, Perang-Pertempuran atau sebuah tindakan yang gegabah-salah.? (Incident, War-Battle or Blunder). Melihat dalam hal ini tidak ada unsur perang, karena perang harus didukung oleh adanya konflik. Dan terlalu kejam dan kurang bijaksana kalau korban yang jatuh disetarakan sebagai korban dari rencana dan tindakan gegabah-salah dan tidak bertanggung jawab, maka seyogyanga istilah peristiwa kebetulanlah yang dipakai. It was really an Incident.

Pada tgl 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono. Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya dibicarakan secara khusus, yaitu berlangsungnya “Rapat Raksasa Ikada” yang penyelenggaraannya dipersiapkan dan dilaksanakan rakyat Jakarta dan sekitarnya yang dimotori Pemuda-Mahasiswa Jakarta.Rencana Rapat Akbar yang sejak awal tempatnya sudah ditetapkan yaitu Lapangan Ikada (sekarang pojok timur Monas), pada mulanya dimaksudkan untuk memeperingati satu bulan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi rencananya dilaksanakan pada tanggal 17 September 1945. Tapi rupanya rencana ini ditanggapi fihak Pemerintah Republik Indonesia secara maju mundur. Ada kesan Pemerintah sangat berhati-hati atau nyaris takut kepada kekuasaan Militer Jepang yang baru saja kalah perang. Untuk ini Kabinet sudah membahasnya dalam rapat tgl 17 September 1945. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia. Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin fihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.
Fihak panitia penyelenggara yang terdiri dari banyak Pemuda dan Mahasiswa yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat. Karena tidak kunjung jawaban dari Pemerintah Republik Indonesia, ahirnya fihak penyelenggara memutuskan untuk mengundurkan rencana acara tgl 17 menjadi tanggal 19 September 1945. Sedangkan tempat masih tetap direncanakan dilapangan Ikada.Pada tanggal 18 Sptember 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat yaitu menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”. Sikap ini sebenarnya bukan hanya luapan emosi semata, tapi beralasan antara lain karena persiapan Rapat Raksasa Ikada sudah berjalan cukup jauh, termasuk usaha untuk mengundang rakyat dari berbagai peloksok Ibu kota dan daerah sekitar Jakarta. Cara pemberitaan ini cukup sukses padahal alat komunikasi sangat terbatas. Pada umumnya penyampaian berita undangan dilakukan secara berantai melalui sistim pembagian wilayah pada zaman Jepang dan organisasi RT/RW saat itu (Tonarigumi).Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno. Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu. Anehnya berbagai kelompok pemuda/mahasiswa ini yang pada zaman Jepang dan awal Revolusi berbeda faham, tapi kini menjelang Rapat Raksasa bisa bersatu dan saling bahu membahu bekerja sama.Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada difihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.Untuk persiapan pendukung, telah siap pula anggota PMI (Palang Merah Indonesia), ibu-ibu penyelenggara Dapur Umum , dokter-dokter serta dokter-dokter muda CBZ (Centralle Burgerlijk Ziekenhuis) yang sejak zaman Jepang sudah berganti nama menjadi Roemah Sakit Pergoeroen Tinggi. Mereka mempersiapkan obat-obatan, dan alat-alat medis lainnya serta telah dipersiapkan pula beberapa buah Ambulance. Yang tidak kalah menentukan adalah wartawan dan dokumentator, Radio Republik Indonesia , Juru Foto IPPHOS, serta Cameraman dari Studio Multi Film atau bahasa Jepangnya “Nippon Eiga Sha” (ex perusaan film Propaganda Jepang yang belakangan menjadi PFN) yang akan mendokumentasikan peristiwa penting ini. Hasil dokumentasi mereka ini nantinya meru-pakan satu-satunya visualisasi seluloid tentang hal tersebut sampai sekarang. Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap.Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang. Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu. Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno. Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”. Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi. Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950). Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat. Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding. Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”. Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata : “ Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara “ dijawab dengan serentak oleh rakyat “Sanguuup”. Lalu Presiden melanjutkan “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional…..MERDEKA….”.Maka terjadilah keajaiban tersebut. Kumpulan massa yang dianggap fihak Jepang akan sukar dikendalikan, ternyata mau menurut Presidennya dan pulang kerumah masing-masing dengan teratur. Apakah arti peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini ?. Bahwa rakyat Indonesia pada dasarnya mudah disatukan dalam langkah dan geraknya oleh kekuatan dari sebuah figur kharismatik serta diarahkan dan dikendalikan untuk tujuan yang postif dengan syarat jangan mengecewakan mereka. Bung Karno sebagai Presiden memiliki itu semua yang harus menggambarkan antara lain bahwa, para pemimpin harus tegas dan lugas dan merupakan bagian dari mereka, dimana hal tersebut dimungkinkan kalau para pemimpinnya sendiri selalu turun kebawah. Para pimpinan rakyat khususnya pemuda dan mahasiswa amat menentukan dalam pembuatan kebijakan Nasional yang disepakati bersama, semua fihak dengan lebih dahulu dimusyawarahkan secara demokratis. Peristiwa sejarah lokal yang menyangkut masalah Demokrasi, yang terjadi setelah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ini selalu menarik dikaji karena benar-benar diselenggarakan oleh rakyat, untuk kepentingan perjuangan Nasional dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya rakyat menyadari bahwa hal itu amat penting sekali terutama dalam mewujudkan utuhnya Kepemimpinan Nasional. Meskipun usaha ini dilakukan di Jakarta secara lokal, tapi maksud utamanya secara Nasional untuk melegitimasi Pemerintahan RI yang sah baik yang menyangkut lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sesungguhnya hal ini penting mengingat gaung Proklamasi belum cukup merata kepeloksok tanah air. Selain itu belum terlihat tindakan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan RI secara nyata sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Proklamasi maupun UUD 1945. Dan yang lebih penting lagi timbulnya keraguan masyarakat akan kedaulatan NKRI padahal dengan mata telanjang sejak awal September 1945 rakyat Indonesia menyaksikan masih eksisnya balatentara Jepang, pasukan sekutu yang mulai berdatangan yang diyakini diboncengi pula pasukan Belanda, sementara Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak nampak berbuat banyak. Ada sebuah kekhawatiran lain dari fihak penguasa politik Bangsa pada waktu itu baik yang beraliran Nasionalis, Islam maupun Sosialis bahwa masa pendudukan Jepang berpengaruh sangat dalam dalam rencana pembangunan Bangsa dan Negara pasca Perang Dunia ke II. Konflik ini sangat mencuat mengingat baik Soekarno maupun Hatta adalah tokoh-tokoh yang erat bekerja sama dengan Jepang termasuk dalam mewujudkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya beberapa gelintir tokoh politik yang benar-benar bersih dari kerja sama dengan Jepang, namun tidak dapat berbuat banyak karena nilai kepemimpinannya tidak dihargai rakyat sebegitu besar yang dimiliki Soekarno, atau penokohannya tidak dikenal. Situasi inilah yang menggambarkan masa transisi dari pendudukan Jepang kepada zaman Kemerdekaan dalam tahun 1945. Berkaitan dengan hal diatas Soekarno sebagai Presiden dari kabinet Presidensiel pertama (sering disebut kabinet Buco) harus mampu menerima kritik maupun tuduhan-tuduhan politik yang belum tentu benar termasuk keabsahan dirinya sebagai pimpinan eksekutif yang diangkat rakyat. Adalah Sjahrir dan Tan Malaka yang paling vokal menyebar luaskan berbagai kelemahan Soekarno selama masa pendudukan Jepang. Dan hal ini banyak ditelan bulat-bulat oleh sebagian kaum muda yang tergabung dalam kelompok pemuda-mahasiswa. Buat Belanda yang memiliki badan NICA (Netherlands Indie Civil Administration) yang baru kemudian secara resmi tiba di Jakarta pada awal Oktober tiba di Jawa, isu politik ini amat menguntungkan dan mulai membina masyarakat Indonesia yang pro Belanda serta melakukan persiapan-persiapan akan kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda yang kabur ke Australia ketika Jepang secara resmi masuk ke Indonesia pada tgl 8 Maret 1942. Diantara tokoh NICA yang tiba lebih dahulu dengan tentara sekutu adalah Van der Plas. Usaha-usaha yang dilakukannya adalah mulai merehabiliter ex tentara KNIL baik yang bebas maupun yang baru lepas dari camp interniran Japang. Agitasi dan provokasi Van der Plas cs, membuat Jakarta menjadi kurang aman karena dimana-mana timbul konflik bersenjata yang memakan korban tidak sedikit. Padahal kelompok pemuda-mahasiswa Jakarta sedang giat-giatnya melakukan pengambil alihan badan-badan Pemerintah ex Jepang untuk difungsikan dalam Pemerintah RI atau setidaknya Pemerintahan Daerah Jakarta Raya. Slogan-slogan anti Kolonialisme dan Imperialisme bermunculan yang ditulis oleh pemuda-mahasiswa Jakarta pada dinding-dinding gedung, trem dan kereta api maupun dalam spanduk-spanduk yang dapat dibaca dipersimpangan jalan-jalan, Semua ini dengan harapan dapat dibaca siapa saja khususnya tentara sekutu bahwa “Indonesia sudah Merdeka dan berdaulat”. Menanggapi tuntutan massa untuk berpidato dalam rapat raksasa Ikada, nampaknya Bung Karno melihat segi negatif dan positifnya usaha rakyat tersebut. Segi negatifnya kalau saja fihak-fihak terkait baik rakyat yang sudah menyemut yang diperkirakan berjumlah 300.000 orang, maupun fihak penguasa militer Jepang yang sudah harus bertanggung jawab kepada fihak sekutu sebagai pemenang perang dunia dan kini melakukan stelling tempur kearah rakyat. Keduanya bisa mengalami konflik fisik, yang dapat diperkirakan akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Segi positifnya adalah terbetuknya sosok Persatuan, Kesatuan Nasional serta munculnya nilai-nilai Demokrasi. Serta yang lebih pasti adalah legitimasi Pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat dibawah Presiden Soekarno. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, tidak banyak yang diucapkan dalam pidato tersingkat yang pernah disampaikan Soekarno. Namun apa yang tersirat dalam pidato tersebut sungguh sebuah monumen nasional yang tidak akan dilupakan orang. Semua fihak baik mengagung-agungkan dirinya, mencerca dirinya dan mengancamnya selama zaman Jepang dan disekitar Proklamasi, termasuk yang berpikiran naif tentang manusia bernama Soekarno ini, pada ahirnya mengakuinya bahwa Republik ini dalam mengusahakan perjuangan bangsa selanjutnya setelah Preoklamasi 17 Agustus 1945 membutuhkan seorang PEMIMPIN NASIONAL yang tidak pernah ada duanya dalam sejarah Indonesia.
Pada pertengahan tahun 1946, kebijaksanaan kabinet Sjahrir adalah Berunding dengan Belanda. Perundingan Indonesia-Belanda di Hoge Veluwe (14-24 April 1946) diwakili oleh Suwandi, Soedarsono dan AK Pringgodigdo, selaku delegasi resmi Republik Indonesia. Semua utusan ini sudah kembali pada 29 April 1946. Perundingannya sendiri diyakini tidak membawa hasil apa-apa. Bersama delegasi turut serta pulang ketanah air, Dr Saroso, anggota Tweede Kamer, Setiadjit Soegondo, dan ketua PI (perhimpunan Indonesia) Drs Maruto Darusman. Pada pertengahan bulan Mei 1946 di Belanda berlangsung pemilihan umum dan pada bulan Juli terbentuk kabinet baru Belanda dengan Beel sebagai perdana menteri. Salah satu program kabinet Beel terpenting, adalah menyelesaikan politik di Indonesia. Sesuai perkembangan yang terjadi, maka Belanda amat sulit bergeser dari apa yang paling bijak dilakukan yaitu berunding dengan Republik Indonesia, Maka menghadapi ini, pada 10 September 1946 melalui undang-undang dilantiklah oleh Sri Ratu sebuah badan namanya Komisi Jenderal. Anggotanya 3 orang terhormat yaitu Dr Schermerhorn mantan perdana Menteri, van Poll (dari KVP) dan de Boer (wakil kaum Liberal). Di Indonesia, mendengar jago-jago Belanda ini, tibullah inisiatip untuk memajukan jagonya juga. Tapi siapa ?. Rupanya pilihan jatuh pada Presiden RI, Soekarno. Bagi Indonesia, tidak ada pilihan lain. Bukankah Soekarno sudah dikenal dunia ?. Reputasinya sudah cukup memenuhi syarat. Maka Dr Soedarsono (Mendagri), memberi tahu fihak Belanda bahwa sehubungan kedatangan Komisi Jenderal untuk berunding, maka Republik Indonesia mencalonkan Soekarno sebagai ketua delegasi. Tapi Belanda menolak dengan halus. Hal ini dibicarakan serius dalam rapat Komis Jenderal dan sempat pula dilaporkan kepada Menteri seberang lautan Jonkman pada tanggal 21 September 1946 (Dokumen OBBNIB no.171, 172, 173 dan 174) Rupanya pihak Belanda amat serius dan berpikir maju mundur karena khawatir akan ada salah pengertian dari pihak Indonesia. Schermerhorm sendiri sampai-sampai menggunakan istilah "Insiden Soekarno". Dengan sangat hati-hati dikatakannya, Walaupun kini Belanda menolak penunjukan Soekarno sebagai ketua delegasi, secara pribadi dia menyatakan kesediaannya untuk berbicara dengan Soekarno dibelakang hari. Prof Schermerhorn menilai bahwa Soekarno adalah pemegang kekuasan yang sebenarnya diwilayah Republik, yang mau atau tidak harus mereka hadapi dikemudian hari. (disarikan dari berbagai sumber, khususnya dari bukuHubungan Indonesia-Belanda periode 1945-1950 oleh Drs Basuki Suwarno. Diterbitkan oleh Dep.Lu 2005)

Pada pertengahan tahun 1946, kebijaksanaan kabinet Sjahrir adalah Berunding dengan Belanda. Perundingan Indonesia-Belanda di Hoge Veluwe (14-24 April 1946) diwakili oleh Suwandi, Soedarsono dan AK Pringgodigdo, selaku delegasi resmi Republik Indonesia. Semua utusan ini sudah kembali pada 29 April 1946. Perundingannya sendiri diyakini tidak membawa hasil apa-apa. Bersama delegasi turut serta pulang ketanah air, Dr Saroso, anggota Tweede Kamer, Setiadjit Soegondo, dan ketua PI (perhimpunan Indonesia) Drs Maruto Darusman. Pada pertengahan bulan Mei 1946 di Belanda berlangsung pemilihan umum dan pada bulan Juli terbentuk kabinet baru Belanda dengan Beel sebagai perdana menteri. Salah satu program kabinet Beel terpenting, adalah menyelesaikan politik di Indonesia. Sesuai perkembangan yang terjadi, maka Belanda amat sulit bergeser dari apa yang paling bijak dilakukan yaitu berunding dengan Republik Indonesia, Maka menghadapi ini, pada 10 September 1946 melalui undang-undang dilantiklah oleh Sri Ratu sebuah badan namanya Komisi Jenderal. Anggotanya 3 orang terhormat yaitu Dr Schermerhorn mantan perdana Menteri, van Poll (dari KVP) dan de Boer (wakil kaum Liberal). Di Indonesia, mendengar jago-jago Belanda ini, tibullah inisiatip untuk memajukan jagonya juga. Tapi siapa ?. Rupanya pilihan jatuh pada Presiden RI, Soekarno. Bagi Indonesia, tidak ada pilihan lain. Bukankah Soekarno sudah dikenal dunia ?. Reputasinya sudah cukup memenuhi syarat. Maka Dr Soedarsono (Mendagri), memberi tahu fihak Belanda bahwa sehubungan kedatangan Komisi Jenderal untuk berunding, maka Republik Indonesia mencalonkan Soekarno sebagai ketua delegasi. Tapi Belanda menolak dengan halus. Hal ini dibicarakan serius dalam rapat Komis Jenderal dan sempat pula dilaporkan kepada Menteri seberang lautan Jonkman pada tanggal 21 September 1946 (Dokumen OBBNIB no.171, 172, 173 dan 174) Rupanya pihak Belanda amat serius dan berpikir maju mundur karena khawatir akan ada salah pengertian dari pihak Indonesia. Schermerhorm sendiri sampai-sampai menggunakan istilah "Insiden Soekarno". Dengan sangat hati-hati dikatakannya, Walaupun kini Belanda menolak penunjukan Soekarno sebagai ketua delegasi, secara pribadi dia menyatakan kesediaannya untuk berbicara dengan Soekarno dibelakang hari. Prof Schermerhorn menilai bahwa Soekarno adalah pemegang kekuasan yang sebenarnya diwilayah Republik, yang mau atau tidak harus mereka hadapi dikemudian hari. (disarikan dari berbagai sumber, khususnya dari bukuHubungan Indonesia-Belanda periode 1945-1950 oleh Drs Basuki Suwarno. Diterbitkan oleh Dep.Lu 2005)

PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948, AWALNYA
KONFLIK SESAMA GOLONGAN KIRI YANG ANTI IMPERIALIS ?
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng. Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap. Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan Desember 1949).

Pemilu

PEMILU
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 9 kali pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009, dalam Pemilu, para pemilih disebut konstituen
Pemilihan Umum Indonesia 1955
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis.
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu

2. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.
Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pemilihan Umum Indonesia 1971
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1971 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 Juli 1971 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia
Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde lama, dan diikuti oleh 10 partai politik. Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilihan Umum Orde Baru (1977-1997)
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Berikut adalah tanggal-tanggal diadakannya pemungutan suara pada Pemilu periode ini.
1. 2 Mei 1977
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1977-1982.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
2. 4 Mei 1982
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1982 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1982-1987.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
3. 23 April 1987
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
4. 9 Juni 1992
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1992 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1992-1997.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
5. 29 Mei 1997
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa Orde Baru.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu.
Pemilu-Pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilihan Umum Indonesia 1999
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1999 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 7 Juni 1999 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 1999-2004.
Pemilihan Umum ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan setelah runtuhnya Orde Baru dan juga yang terakhir kalinya diikuti oleh Provinsi Timor Timur.
Pemilihan Umum ini diikuti oleh 48 partai politik, yang mencakup hampir semua spektrum arah politik (kecuali komunisme yang dilarang di Indonesia). Penentuan kursi dilakukan secara proporsional berdasarkan persentase suara nasional
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR. Pemilihan Umum ini diikuti oleh 48 partai politik:
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia
Pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Asas
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu
Pemilu 2004
Sejarah Pemilu 2004
Pemilu Legislatif 2004
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Pentahapan Pemilu 2004 Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal duatahap):
� Tahap pertama (atau pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004.
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama
� Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
� Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.
Pemilihan Umum Anggota DPR
Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.
Pemilihan Umum Anggota DPD
Pemilihan Umum Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi.
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2009
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur[1])
Pemilihan Umum Anggota DPR
Pemilihan Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah pemilihan, dengan peserta pemilu adalah partai politik. Pemilihan umum ini adalah yang pertama kalinya dilakukan dengan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut (pemilih memilih calon anggota DPR, bukan partai politik).
Peserta
Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Pada 7 Juli 2008, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan daftar 34 partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2009, dimana 18 partai diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. 16 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2004 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2004-2009, sehingga langsung berhak menjadi peserta Pemilu 2009.[2] Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa seluruh partai politik peserta Pemilu 2004 berhak menjadi peserta Pemilu 2009, sehingga berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta No. 104/VI/2008/PTUN.JKT, KPU menetapkan 4 partai politik lagi sebagai peserta Pemilu 2009.[3] Berikut daftar 38 partai politik nasional peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 beserta nomor urutnya.[4]

Pemilihan Umum Anggota DPD
Pemilihan Umum Anggota DPD 2009 dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak, dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah pemilihan adalah provinsi.
Pemilihan Umum Anggota DPRD
Pemilihan Umum Anggota DPRD 2009 dilaksanakan dengan sistem, aturan, dan peserta yang sama dengan Pemilihan Umum Anggota DPR. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, ada tambahan 6 partai politik lokal yang berhak mengikuti Pemilihan Umum Anggota DPRD di provinsi tersebut, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005. Berikut daftar 6 partai politik lokal Aceh tersebut be


No. Lambang dan nama partai
35 Partai Aceh Aman Seujahtra

36 Partai Daulat Aceh

37 Partai Suara Independen Rakyat Aceh

No. Lambang dan nama partai
38 Partai Rakyat Aceh

39 Partai Aceh

40 Partai Bersatu Aceh


Lain-lain
• Pemungutan suara pada Pemilihan Umum 2009 dilakukan dengan cara menandai (mencontreng), berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya dimana pemungutan suara dilakukan dengan cara mencoblos. Pencontrengan dilakukan pada kolom nama partai atau nama/nomor urut calon anggota DPR/DPRD, dan pada nama/foto/nomor urut calon anggota DPD, sebanyak 1 kali.
• Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2009 juga diikuti oleh dua orang calon anggota lembaga legislatif eks-warga negara asing: Petra Odebrecht dari Provinsi Bali (DPR, dari PDP, semula warga negara Jerman) dan Robert Ali Sakias dari Provinsi Papua (DPRD Kabupaten Pegunungan Bintang, dari PDI-P, semula warga negara Papua Nugini).
• Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menyangkut ketentuan sistem nomor urut dalam penentuan calon angggota DPR/DPRD terpilih. Dengan pembatalan ini, penentuan anggota DPR/DPRD terpilih ditentukan oleh suara yang diperoleh masing-masing calon, tanpa melihat nomor urut (sehingga sering disebut sistem suara terbanyak).
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang memungkinkan KPU melakukan perbaikan Daftar Pemilih Tetap

Pilpres 2009
Pilpres 2009 dijadwalkan akan diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Tiga bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden telah mendaftarkan keikutsertaannya kepada KPU, yaitu Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Soebianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.