Sabtu, 14 November 2009

Sejarah

Sejarah
Pada hari Minggu malam jam 23.00, tgl 8 Maret 1942 radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) yang me-mancarkan gelombangnya melalui stasiun darurat di Ciumbuluit untuk terahir kalinya menyiarkan siarannya kedunia bebas. Penyiar Bert Garthoff sempat menyampaikan salam terahir : “Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin !” yang artinya : “Kami tutup siaran ini sekarang, Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali diwaktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu !” Beberapa jam sebelumnya, pada hari Minggu sore jam 17.15 memang telah terjadi peristiwa besar yaitu Kapitulasi Belanda kepada Jepang bertempat dilapangan terbang militer Kalijati Subang. Semua kejadian ini merupakan kelanjutan serangan Jepang ke Asia Tenggara dalam rangka Perang Pasifik yang mereka namakan “Perang Asia Timur Raya” atau “Dai Toa Shenso”. Sejak serangan ke Pearl Harbor tgl 7 Desember 1941, pukulan keselatan kekuatan militer Jepang selanjutnya nampaknya tidak banyak mengalami hambatan. Dalam waktu singkat, Bastion Inggris yaitu Hongkong dan Singapura segera jatuh. Demikian pula Filipina sebagai benteng Amerika dan terahir Hindia Belanda yang merupakan Imperium Kerajaan Belanda. Kekuasaan militer Barat nampak dengan mudah menjadi bulan-bulan pasukan kate dari utara ini. Dan yang paling tragis adalah kekuasaan militer sekutu ABDA (American, British, Dutch dan Australia) di Jawa dengan mudah dipatahkan dalam waktu 5 hari saja. Sebenarnya Komando ABDA (ABDACOM) pada sekitar pertengahan Februari 1942 sudah dibubarkan yang kemudian disusul perginya Laksamana Sir Archibald Wavell selaku pimpinan ABDA. Selanjutnya kekuatan sekutu lainnya berada dibawah pimpinan Panglima tertinggi militer Belanda. Sebagaimana konstitusi, yang menjadi Panglima tertinggi adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya dimana peperangan telah dimenangkan Jepang diberbagai tempat dan mereka sedang menuju Jawa, pada tgl 4 Maret 1942 pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, telah diserah terimakan kepada Panglima KNIL, Let.Jen. Terporten. Oleh karena itulah dalam Kapitulasi Kalijati, bertindak sebagai penyerah kekuasaan dari fihak Belanda pada saat itu adalah Panglima tentara sekutu di Hindia Belanda, Let.Jen Terporten. Sedangkan dari fihak Jepang sebagai penerima adalah Let.Jen Hithoshi Immura, panglima tentara ke 16 kerajaan Jepang yang ditugaskan di Pulau Jawa. Pada hari ini (tgl 8 Maret 1942) tidak begitu banyak yang dibicarakan terutama karena pertemuan resmi baru terjadi setelah hampir jam 18.00. Tetapi yang pasti pernyataan menyerah terjadi pada tgl 8 Maret 1942. Hari tersebut sungguh berat bagi kelompok Belanda. Apalagi petinggi Hindia Belanda ini baik sipil maupun militer termasuk Gubernur Jenderalnya disuruh menunggu sejak pagi hari karena harus menanti tibanya Let.Jen Imamura yang terlambat dan baru tiba pada jam 17.00 di Kalijati. Mereka mengalami tekanan fisik dan mental tampa dikasi makan serta sempat mengalami derasnya hujan yang terjadi menjelang sore hari. Esok harinya Senin tgl 9 Maret 1942, jam 6.00 pagi NIROM ternyata masih membuka siarannya dengan lagu kebangsaan “Wilhelmus”. Kemudian pada jam 6.30 dilanjutkan dengan pengumuman resmi pemerintah yang disampaikan oleh seorang perwira tinggi dari staf Jenderal atas nama Panglima, tentang “ penghentian perang dan penyerahan militer”. Masih dikumandangkannya lagu Wilhelmus sampai tanggal 18 Maret 1942 ternyata berbuntut panjang. Fihak penguasa Jepang menganggapnya sebagai pembangkangan yang berakibat ikut campurnya fihak Kempe Tai (polisi militer). Sejumlah petugas radio ditangkap dan sebagian dari mereka atas perintah Imamura dipancung kepalanya dengan Samurai di Ancol, termasuk kepala siaran umum P.Kusters. Tgl 9 Maret perundingan dilanjutkan tampa turut sertanya Gubernur Jenderal, Perundingan ditutup dengan penandatanganan pernyataan kekalahan perang oleh fihak Belanda mewakili pasukan sekutu di Indonesia. Ada misteri tentang peristiwa besar ini. Fihak Jepang membuat pernyataan yang bisa dibaca dalam memoir Jenderal Imamura bahwa disamping dukumen kekuatan sekutu di Indonesia, sempat ditandatangani protocol Kapitulasi atau penyerahan dari Belanda kepada Jepang. Tapi fihak Belanda menyangkal hal tersebut, seolah penyerahan total secara tertulis tidak pernah terjadi. Apalagi menjelang berahirnya kekuasaan Jepang pada tahun 1945, banyak sekali dokumen-dokumen yang dibakar. Mungkin dokumen itu terdapat didalamnya.Gubernur Jenderal Mr A.W.L Tjarda van Starkenborgh nampaknya tidak terlibat langsung dalam Kapitulasi ini karena disini terjadi semacam tipu muslihat politik yang menggambarkan seolah-olah Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menyerah kepada Jepang. Apa yang terjadi di Kalijati semata-mata hanya penyerahan fihak militer sekutu saja yang diwakili Let.Jen Terporten. Hal ini cukup beralasan karena 3 hal. Yaitu perintah dari Sri Ratu Belanda agar Hindia Belanda tidak menyerah. Yang kedua sejak tanggal 4 Maret 1942 Gubernur Jenderal tidak lagi menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang Hindia belanda, dan yang ketiga antara tgl 5-7 Maret, sejumlah pimpinan Pemerintahan Hindia Belanda yang diketuai Letnan Gubernur Jenderal van Mook telah hijrah ke Australia. Mereka mendirikan Pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan, tepatnya dikota Brisbane, Namun dalam perundingan di Kalijati tgl 8 Maret 1942, fihak Jepang tidak mau tau apa yang terjadi di Hindia dan menganggap secara defakto maupun dejure Imperium Nederland di timur jauh ini sudah takluk kepada Kekaisaran Jepang. Mungkin saja sebagai ahli hukum, Starkenborgh menganggap pemerintahan sipil dapat berjalan terus dibawah kekuasaan militer Jepang, tapi itu hanya mimpi sejenak disiang bolong. Setelah hampir sebulan lamanya mengalami tahanan rumah, Pada tgl 6 April 1942 malam hari Starkenborg bersama seluruh stafnya diangkut dan dipenjara dirumah tahanan “Soekamiskin”. Sebuah penjara kolonial yang pernah memenjarakan Ir Soekarno. Dan 11 hari kemudian, pada tanggal 17 April rombongan tawanan para pemimpin Pemerintah Hindia Belanda dibawa ke Batavia dimana mereka dibagi dua. Para anggota militer ditawan di battalion X (jl Kwini sekarang) dan yang sipil ditawan dipenjara Struyswijck (penjara Salemba). Starkenborgh termasuk yang ditawan di battalion X. Menjelang ahir perang (tahun 1944) dirinya dievakuasi dari Jawa dan secara rahasia ditawan di Manchuria sampai dibebaskan pasukan Amerika Serikat pada tahun 1945. Dokumen tertulis mengenai peristiwa Kapitulasi Belanda kepada Jepang pada tanggal 8 dan 9 Maret 1942 dilapangan Kalijati Subang hampir tidak pernah ditemui.
Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana Menteri Belanda. Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal van Heutz. Sekitar tahun 1927 – 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tampa dibagi dalam wilayah-wilayah.[1]
Bukan suatu kebetulan, bahwa pernyataan Colijn tersebut memunculkan Kongres Pemuda yang kedua pada tgl 28 Oktober 1928 di Batavia, dimana diikrarkan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Peristiwa ini kita kenang sebagai hari Sumpah Pemuda.
Sejak tahun 1915 telah berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi. Namun semua organisasi tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Yang mungkin sedikit berbeda adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926. PPPI merupakan wadah pemuda nasionalis radikal non kedaerahan. Tokoh-tokohnya adalah Sigit[2], Soegondo Djojopoespito, Suwirjo, S. Reksodipoetro, Muhammad Yamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. Atas prakarsa PPPI kongres ke II diadakan.
Dalam penerbitan P.I (koran Pemoeda Indonesia) no 8 tahun 1928, terdapat artikel dengan judul “KERAPATAN PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA”. Disitu dijelaskan :
sebagaimana yang telah diwartakan dalam P.I no.6 dan 7, di Jacatra telah diadakan kerapatan besar Pemoeda-pemoeda Indonesia pada tanggal 27 dan 28 Oktober. Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen. Selanjutnya juga diberitakan bahwa kerapatan dikunjungi beratus-ratus orang, dimana bagi siapa yang menyaksikan sendiri akan berbesar hati karena pemoeda-pemoeda kita bukan baru mencita-citakan saja, tapi telah tegak berdiri dipusat persatuan dan kebangsaan . Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R.Soepratman, lagu INDONESIA RAJA [3]
Dalam POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA, tercatat bahwa Poetra dan Poetri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Poetra dan Poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai realisasi penyatuan ini, pada tanggal 31 Desember 1930 jam 12 malam, Jong Java, Perhimpunan Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda Soematra (awalnya bernama Jong Sumatranen Bond) telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan “INDONESIA MOEDA”.
Para anggota panitia Kongres Pemuda ke II[4] terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia yang dikemudian hari amat berperan dalam gerakan pemuda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan. Diantaranya terdapat nama, Soegondo Djojopoespito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond (Sekretaris), Amir Sjarifudin dari Jong Sumatranen Bond (bendahara), Djohan Mu.Tjai dari Jong Islamieten Bond. Kontjosoengkoeno dari P.I, Senduk dari Jong Celebes, J.Lemeina dari Jong Ambon dan Rohyani dari Pemoeda Kaum Betawi. Panitia didukung tokoh-tokoh senior seperti Mr.Sartono, Mr.Muh Nazif, A.I.Z Mononutu, Mr.Soenario. Dalam kongres ikut berbicara tokoh-tokoh besar kebangsaan lainnya seperti S. Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantoro dan Djokosarwono .
Hadir sebagai undangan sekitar 750 orang dimana terdapat nama-nama yang kemudian terkenal seperti Kartakusumah (PNI Bandung), Abdulrachman (B.O Jakarta), Karto Soewirjo (P.B Sarekat Islam), Muh. Roem, Soewirjo, Sumanang, Masdani, Anwari, Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimedjo, Saerun (wartawan Keng Po), WR Supratman. Dari Volksraad yang hadir adalah Soerjono dan Soekawati dan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah Dr.Pyper dan Van der Plas[5].
Jelas bahwa kongres pemuda ke II dimana diikrarkan Sumpah Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan terang juga bukan hasil usaha dari beberapa gelintir orang saja[6]. Hal ini merupakan perjuangan panjang sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A,Rivai lulus ujian dokter sebagai Nederland Arts di Utrecht Belanda, pupus sudahlah anggapan jelek bahwa bangsa Indonesia itu “Laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas, tidak punya kemauan bekerja atau berbuat sesuatu.
Setelah Indonesia muda terbentuk, berarti pemuda Indonesia memiliki organisasi kepemudaan nasional yang solid, kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan yang lebih pasti. Anggota IM terdiri dari semua pemuda seperti anak-anak SLP, SLA, sekolah khusus, kejuruan sederajat dan mahasiswa. Sejak tahun 1931 kongres demi kongres diadakan sehingga lebih menampakkan eksistensinya. Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan diatas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berahir ketika penjajah terahir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Tidak sampai 1 tahun kemudian, RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950.
[1] H.Colijn. Koloniale vraagstukken van heden en morgen.Amsterdam : De Standard. 1928, hal 59-60. Pernyataan ini amat sakit buat hati para pemuda. Soekarno dan Sjahrir segera bereaksi. Dikatakannya : Usaha untuk kembali memisahkan orang Indonesia satu sama lain sebagai orang Jawa, orang Sunda, atau orang Sumatera adalah suatu rekayasa jahat, divide et impera, suatu muslihat yang khas Colijnialism
[2] Sigit ketua pertema dan Soegono ketua kedua.
[3] Koran P.I.no.8 tahun 1928.
[4] Kongres kedua diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Resminya ada 3 kali rapat. Yang pertama dan kedua pada tanggal 27 Oktober 1928, mengambil tempat di gedung Katholieke Jongelingen Bond dan gedung Oost Java Bioskop. Yang terahir pada tanggal 28 Oktober 1928, minggu malam senin bertempat di gedung Indonesisch Clubgebouw (IC), Kramat 106 Jakarta.
[5] Yayasan Gedung Bersejarah, 45 tahun Sumpah Pemuda, 1974, hal 59-60
[6] Hanifah Abu, renungan tentang sumpah pemuda.dalam Bunga rampai Soempah Pemoeda. Balai Pustaka.
Adakah perang di Lengkong pada tanggal 25 Januari 1946 ?
Mencermati usaha pihak TNI untuk mengangkat Hari Bakti Taruna menjadi kegiatan nasional yang nantinya akan diadakan setiap tahun bertempat di Akademi Militer Magelang maka patut rasanya kita bersyukur. Hal ini merupakan uluran tangan Pemerintah yang tidak ada taranya, yang besar artinya bagi pelestarian nilai-nilai juang angkatan 45. Dalam gagasan pihak TNI, semua kegiatan yang diadakan di Jawa Tengah tersebut, sifatnya sebagai simbul perjuangan para taruna, ikut berpartisipasi dalam Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia periode tahun 1945-1949.
Yang dimaksud taruna disini, adalah kadet Akademi Militer Nasional dari seluruh Indonesia yang ada pada waktu itu.
Hari Bakti Taruna selama ini hanya diadakan dalam rangka upacara untuk memperingati gugurnya sejumlah kadet Akademi Militer Tanggerang dan 3 perwira TKR dalam “Peristiwa Lengkong” di Serpong Tanggerang pada tanggal 25 Januari 1946.
Menurut sejarah perjuangan yang telah sempat ditulis, pada tanggal 25 Januari 1946, atas prakarsa Kantor Penghubung Tentara yang berlokasi di jalan Cilacap no.5 Jakarta, telah diadakan rencana untuk pengambil alihan perlengkapan militer milik satu pasukan setingkat kompi yang berada dalam markas mereka didesa Lengkong Serpong Tanggerang Jawa Barat. Pasukan Jepang ini dipimpin seorang perwira Jepang berpangkat Kapten, bernama Abe. Rencana ini tidak mungkin dilaksanakan menurut prosedur, yaitu melalui persetujuan dan izin pihak sekutu yang telah muncul sebagai pemenang perang dunia ke II dan memiliki tugas dan tanggung jawab perlucutan tentara Jepang. Maka timbullah gagasan dari pihak kantor penghubung dan Mayor Daan Jahja selaku kepala staf Resimen IV di Tanggerang untuk meminta bantuan Let.Kol Myamoto yang jabatannya saat itu adalah pembantu khusus May.Jen Yamamoto selaku GunSeiKan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara ke 16 Jepang di Jawa). Apa bila hal tersebut bisa diterima dan disetujui Myamoto, maka kemudian timbul pertanyaan. Atas kompetensi apa pihak Jepang mengatur dan melaksanakan hal itu, mengingat sejak tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang telah menyerah tampa syarat dan mematuhi keputusan Postdam. Ketika pihak kantor penghubung mencoba mencari Myamoto, ternyata yang bersangkutan sedang berada di Bandung untuk suatu urusan. Dan mungkin karena waktu sudah sangat mendesak, dimana rencana itu harus segera dilaksanakan. Atas prakarsa pihak Kanntor Penghubung Tentara Jakarta dan Resimen 4 Tanggerang, dibuatlah tipu muslihat untuk mengelabui pimpinan Kompi Jepang di Lengkong. Caranya adalah dengan mengikut sertakan 6-7 orang tentara sekutu berkewarganegaraan India, sehingga seolah-olah benar rombongan yang akan mengoper perlengkapan militer tersebut adalah atas persetujuan pihak sekutu. Dalam pelaksanaan tugas, telah ditunjuk Mayor Wibowo Moekiman sebagai wakil dari Kantor Penghubung, Kapten Soebianto dan Letnan Soetopo selaku wakil dari Resimen 4 Tanggerang. Sebagai pimpinan rombongan rupanya disepakati Mayor Dan Mogot. Perwira senior dari wilayah resimen 4 yang juga menjabat direktur Akademi Militer Tanggerang. Rombongan juga mengikut sertakan sejumlah Taruna Akademi Militer Tanggerang yang saat itu telah menjalankan masa pendidikan militer perwira selama 3 bulan lamanya.
Dengan menumpang sebuah Jeep dan dua buah truk, rombongan telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, antara lain sudah sempat dilakukannya penempatan sejumlah senjata oleh para taruna keatas truk. Tapi ketika proses itu sedang berlangsung, tiba-tiba terjadilah peletusan tembakan senjata yang sumber dan arahnya tidak diketahui dari mana. Semua berjalan sangat cepat, dimana pihak Jepang telah merebut senjata-senjatanya kembali dan bersikap siap tempur dan melakukan tembakan-tembakan kearah para Taruna. Pada awalnya mungkin telah terjadi kekacauan, tapi selaku pasukan Combatant berpengalaman, tentu saja pasukan Jepang lebih sempurna berada dalam situasi siap tempur. Karena kurang pengalaman dan mungkin juga berada pada tempat terbuka, kelompok Taruna dengan mudah menjadi sasaran empuk pihak penyerang. Killing Field ini terletak diantara kebun karet yang terletak persis dimuka markas tentara Jepang di Lengkong yang saat ini masih bisa dilihat lokasinya. Dalam peristiwa ini telah gugur sebanyak 33 orang Taruna dan 3 orang perwira TKR
Sekarang timbul pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 25 Januari 1946 didesa Lengekong tersebut ? sebagai Peristiwa kebetulan, Perang-Pertempuran atau sebuah tindakan yang gegabah-salah.? (Incident, War-Battle or Blunder). Melihat dalam hal ini tidak ada unsur perang, karena perang harus didukung oleh adanya konflik. Dan terlalu kejam dan kurang bijaksana kalau korban yang jatuh disetarakan sebagai korban dari rencana dan tindakan gegabah-salah dan tidak bertanggung jawab, maka seyogyanga istilah peristiwa kebetulanlah yang dipakai. It was really an Incident.

Pada tgl 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono. Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya dibicarakan secara khusus, yaitu berlangsungnya “Rapat Raksasa Ikada” yang penyelenggaraannya dipersiapkan dan dilaksanakan rakyat Jakarta dan sekitarnya yang dimotori Pemuda-Mahasiswa Jakarta.Rencana Rapat Akbar yang sejak awal tempatnya sudah ditetapkan yaitu Lapangan Ikada (sekarang pojok timur Monas), pada mulanya dimaksudkan untuk memeperingati satu bulan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi rencananya dilaksanakan pada tanggal 17 September 1945. Tapi rupanya rencana ini ditanggapi fihak Pemerintah Republik Indonesia secara maju mundur. Ada kesan Pemerintah sangat berhati-hati atau nyaris takut kepada kekuasaan Militer Jepang yang baru saja kalah perang. Untuk ini Kabinet sudah membahasnya dalam rapat tgl 17 September 1945. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia. Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin fihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.
Fihak panitia penyelenggara yang terdiri dari banyak Pemuda dan Mahasiswa yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat. Karena tidak kunjung jawaban dari Pemerintah Republik Indonesia, ahirnya fihak penyelenggara memutuskan untuk mengundurkan rencana acara tgl 17 menjadi tanggal 19 September 1945. Sedangkan tempat masih tetap direncanakan dilapangan Ikada.Pada tanggal 18 Sptember 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat yaitu menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”. Sikap ini sebenarnya bukan hanya luapan emosi semata, tapi beralasan antara lain karena persiapan Rapat Raksasa Ikada sudah berjalan cukup jauh, termasuk usaha untuk mengundang rakyat dari berbagai peloksok Ibu kota dan daerah sekitar Jakarta. Cara pemberitaan ini cukup sukses padahal alat komunikasi sangat terbatas. Pada umumnya penyampaian berita undangan dilakukan secara berantai melalui sistim pembagian wilayah pada zaman Jepang dan organisasi RT/RW saat itu (Tonarigumi).Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno. Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu. Anehnya berbagai kelompok pemuda/mahasiswa ini yang pada zaman Jepang dan awal Revolusi berbeda faham, tapi kini menjelang Rapat Raksasa bisa bersatu dan saling bahu membahu bekerja sama.Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada difihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.Untuk persiapan pendukung, telah siap pula anggota PMI (Palang Merah Indonesia), ibu-ibu penyelenggara Dapur Umum , dokter-dokter serta dokter-dokter muda CBZ (Centralle Burgerlijk Ziekenhuis) yang sejak zaman Jepang sudah berganti nama menjadi Roemah Sakit Pergoeroen Tinggi. Mereka mempersiapkan obat-obatan, dan alat-alat medis lainnya serta telah dipersiapkan pula beberapa buah Ambulance. Yang tidak kalah menentukan adalah wartawan dan dokumentator, Radio Republik Indonesia , Juru Foto IPPHOS, serta Cameraman dari Studio Multi Film atau bahasa Jepangnya “Nippon Eiga Sha” (ex perusaan film Propaganda Jepang yang belakangan menjadi PFN) yang akan mendokumentasikan peristiwa penting ini. Hasil dokumentasi mereka ini nantinya meru-pakan satu-satunya visualisasi seluloid tentang hal tersebut sampai sekarang. Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap.Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang. Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu. Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno. Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”. Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi. Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950). Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat. Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding. Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe”. Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata : “ Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara “ dijawab dengan serentak oleh rakyat “Sanguuup”. Lalu Presiden melanjutkan “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam nasional…..MERDEKA….”.Maka terjadilah keajaiban tersebut. Kumpulan massa yang dianggap fihak Jepang akan sukar dikendalikan, ternyata mau menurut Presidennya dan pulang kerumah masing-masing dengan teratur. Apakah arti peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini ?. Bahwa rakyat Indonesia pada dasarnya mudah disatukan dalam langkah dan geraknya oleh kekuatan dari sebuah figur kharismatik serta diarahkan dan dikendalikan untuk tujuan yang postif dengan syarat jangan mengecewakan mereka. Bung Karno sebagai Presiden memiliki itu semua yang harus menggambarkan antara lain bahwa, para pemimpin harus tegas dan lugas dan merupakan bagian dari mereka, dimana hal tersebut dimungkinkan kalau para pemimpinnya sendiri selalu turun kebawah. Para pimpinan rakyat khususnya pemuda dan mahasiswa amat menentukan dalam pembuatan kebijakan Nasional yang disepakati bersama, semua fihak dengan lebih dahulu dimusyawarahkan secara demokratis. Peristiwa sejarah lokal yang menyangkut masalah Demokrasi, yang terjadi setelah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ini selalu menarik dikaji karena benar-benar diselenggarakan oleh rakyat, untuk kepentingan perjuangan Nasional dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya rakyat menyadari bahwa hal itu amat penting sekali terutama dalam mewujudkan utuhnya Kepemimpinan Nasional. Meskipun usaha ini dilakukan di Jakarta secara lokal, tapi maksud utamanya secara Nasional untuk melegitimasi Pemerintahan RI yang sah baik yang menyangkut lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sesungguhnya hal ini penting mengingat gaung Proklamasi belum cukup merata kepeloksok tanah air. Selain itu belum terlihat tindakan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan RI secara nyata sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Proklamasi maupun UUD 1945. Dan yang lebih penting lagi timbulnya keraguan masyarakat akan kedaulatan NKRI padahal dengan mata telanjang sejak awal September 1945 rakyat Indonesia menyaksikan masih eksisnya balatentara Jepang, pasukan sekutu yang mulai berdatangan yang diyakini diboncengi pula pasukan Belanda, sementara Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak nampak berbuat banyak. Ada sebuah kekhawatiran lain dari fihak penguasa politik Bangsa pada waktu itu baik yang beraliran Nasionalis, Islam maupun Sosialis bahwa masa pendudukan Jepang berpengaruh sangat dalam dalam rencana pembangunan Bangsa dan Negara pasca Perang Dunia ke II. Konflik ini sangat mencuat mengingat baik Soekarno maupun Hatta adalah tokoh-tokoh yang erat bekerja sama dengan Jepang termasuk dalam mewujudkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya beberapa gelintir tokoh politik yang benar-benar bersih dari kerja sama dengan Jepang, namun tidak dapat berbuat banyak karena nilai kepemimpinannya tidak dihargai rakyat sebegitu besar yang dimiliki Soekarno, atau penokohannya tidak dikenal. Situasi inilah yang menggambarkan masa transisi dari pendudukan Jepang kepada zaman Kemerdekaan dalam tahun 1945. Berkaitan dengan hal diatas Soekarno sebagai Presiden dari kabinet Presidensiel pertama (sering disebut kabinet Buco) harus mampu menerima kritik maupun tuduhan-tuduhan politik yang belum tentu benar termasuk keabsahan dirinya sebagai pimpinan eksekutif yang diangkat rakyat. Adalah Sjahrir dan Tan Malaka yang paling vokal menyebar luaskan berbagai kelemahan Soekarno selama masa pendudukan Jepang. Dan hal ini banyak ditelan bulat-bulat oleh sebagian kaum muda yang tergabung dalam kelompok pemuda-mahasiswa. Buat Belanda yang memiliki badan NICA (Netherlands Indie Civil Administration) yang baru kemudian secara resmi tiba di Jakarta pada awal Oktober tiba di Jawa, isu politik ini amat menguntungkan dan mulai membina masyarakat Indonesia yang pro Belanda serta melakukan persiapan-persiapan akan kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda yang kabur ke Australia ketika Jepang secara resmi masuk ke Indonesia pada tgl 8 Maret 1942. Diantara tokoh NICA yang tiba lebih dahulu dengan tentara sekutu adalah Van der Plas. Usaha-usaha yang dilakukannya adalah mulai merehabiliter ex tentara KNIL baik yang bebas maupun yang baru lepas dari camp interniran Japang. Agitasi dan provokasi Van der Plas cs, membuat Jakarta menjadi kurang aman karena dimana-mana timbul konflik bersenjata yang memakan korban tidak sedikit. Padahal kelompok pemuda-mahasiswa Jakarta sedang giat-giatnya melakukan pengambil alihan badan-badan Pemerintah ex Jepang untuk difungsikan dalam Pemerintah RI atau setidaknya Pemerintahan Daerah Jakarta Raya. Slogan-slogan anti Kolonialisme dan Imperialisme bermunculan yang ditulis oleh pemuda-mahasiswa Jakarta pada dinding-dinding gedung, trem dan kereta api maupun dalam spanduk-spanduk yang dapat dibaca dipersimpangan jalan-jalan, Semua ini dengan harapan dapat dibaca siapa saja khususnya tentara sekutu bahwa “Indonesia sudah Merdeka dan berdaulat”. Menanggapi tuntutan massa untuk berpidato dalam rapat raksasa Ikada, nampaknya Bung Karno melihat segi negatif dan positifnya usaha rakyat tersebut. Segi negatifnya kalau saja fihak-fihak terkait baik rakyat yang sudah menyemut yang diperkirakan berjumlah 300.000 orang, maupun fihak penguasa militer Jepang yang sudah harus bertanggung jawab kepada fihak sekutu sebagai pemenang perang dunia dan kini melakukan stelling tempur kearah rakyat. Keduanya bisa mengalami konflik fisik, yang dapat diperkirakan akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Segi positifnya adalah terbetuknya sosok Persatuan, Kesatuan Nasional serta munculnya nilai-nilai Demokrasi. Serta yang lebih pasti adalah legitimasi Pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat dibawah Presiden Soekarno. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, tidak banyak yang diucapkan dalam pidato tersingkat yang pernah disampaikan Soekarno. Namun apa yang tersirat dalam pidato tersebut sungguh sebuah monumen nasional yang tidak akan dilupakan orang. Semua fihak baik mengagung-agungkan dirinya, mencerca dirinya dan mengancamnya selama zaman Jepang dan disekitar Proklamasi, termasuk yang berpikiran naif tentang manusia bernama Soekarno ini, pada ahirnya mengakuinya bahwa Republik ini dalam mengusahakan perjuangan bangsa selanjutnya setelah Preoklamasi 17 Agustus 1945 membutuhkan seorang PEMIMPIN NASIONAL yang tidak pernah ada duanya dalam sejarah Indonesia.
Pada pertengahan tahun 1946, kebijaksanaan kabinet Sjahrir adalah Berunding dengan Belanda. Perundingan Indonesia-Belanda di Hoge Veluwe (14-24 April 1946) diwakili oleh Suwandi, Soedarsono dan AK Pringgodigdo, selaku delegasi resmi Republik Indonesia. Semua utusan ini sudah kembali pada 29 April 1946. Perundingannya sendiri diyakini tidak membawa hasil apa-apa. Bersama delegasi turut serta pulang ketanah air, Dr Saroso, anggota Tweede Kamer, Setiadjit Soegondo, dan ketua PI (perhimpunan Indonesia) Drs Maruto Darusman. Pada pertengahan bulan Mei 1946 di Belanda berlangsung pemilihan umum dan pada bulan Juli terbentuk kabinet baru Belanda dengan Beel sebagai perdana menteri. Salah satu program kabinet Beel terpenting, adalah menyelesaikan politik di Indonesia. Sesuai perkembangan yang terjadi, maka Belanda amat sulit bergeser dari apa yang paling bijak dilakukan yaitu berunding dengan Republik Indonesia, Maka menghadapi ini, pada 10 September 1946 melalui undang-undang dilantiklah oleh Sri Ratu sebuah badan namanya Komisi Jenderal. Anggotanya 3 orang terhormat yaitu Dr Schermerhorn mantan perdana Menteri, van Poll (dari KVP) dan de Boer (wakil kaum Liberal). Di Indonesia, mendengar jago-jago Belanda ini, tibullah inisiatip untuk memajukan jagonya juga. Tapi siapa ?. Rupanya pilihan jatuh pada Presiden RI, Soekarno. Bagi Indonesia, tidak ada pilihan lain. Bukankah Soekarno sudah dikenal dunia ?. Reputasinya sudah cukup memenuhi syarat. Maka Dr Soedarsono (Mendagri), memberi tahu fihak Belanda bahwa sehubungan kedatangan Komisi Jenderal untuk berunding, maka Republik Indonesia mencalonkan Soekarno sebagai ketua delegasi. Tapi Belanda menolak dengan halus. Hal ini dibicarakan serius dalam rapat Komis Jenderal dan sempat pula dilaporkan kepada Menteri seberang lautan Jonkman pada tanggal 21 September 1946 (Dokumen OBBNIB no.171, 172, 173 dan 174) Rupanya pihak Belanda amat serius dan berpikir maju mundur karena khawatir akan ada salah pengertian dari pihak Indonesia. Schermerhorm sendiri sampai-sampai menggunakan istilah "Insiden Soekarno". Dengan sangat hati-hati dikatakannya, Walaupun kini Belanda menolak penunjukan Soekarno sebagai ketua delegasi, secara pribadi dia menyatakan kesediaannya untuk berbicara dengan Soekarno dibelakang hari. Prof Schermerhorn menilai bahwa Soekarno adalah pemegang kekuasan yang sebenarnya diwilayah Republik, yang mau atau tidak harus mereka hadapi dikemudian hari. (disarikan dari berbagai sumber, khususnya dari bukuHubungan Indonesia-Belanda periode 1945-1950 oleh Drs Basuki Suwarno. Diterbitkan oleh Dep.Lu 2005)

Pada pertengahan tahun 1946, kebijaksanaan kabinet Sjahrir adalah Berunding dengan Belanda. Perundingan Indonesia-Belanda di Hoge Veluwe (14-24 April 1946) diwakili oleh Suwandi, Soedarsono dan AK Pringgodigdo, selaku delegasi resmi Republik Indonesia. Semua utusan ini sudah kembali pada 29 April 1946. Perundingannya sendiri diyakini tidak membawa hasil apa-apa. Bersama delegasi turut serta pulang ketanah air, Dr Saroso, anggota Tweede Kamer, Setiadjit Soegondo, dan ketua PI (perhimpunan Indonesia) Drs Maruto Darusman. Pada pertengahan bulan Mei 1946 di Belanda berlangsung pemilihan umum dan pada bulan Juli terbentuk kabinet baru Belanda dengan Beel sebagai perdana menteri. Salah satu program kabinet Beel terpenting, adalah menyelesaikan politik di Indonesia. Sesuai perkembangan yang terjadi, maka Belanda amat sulit bergeser dari apa yang paling bijak dilakukan yaitu berunding dengan Republik Indonesia, Maka menghadapi ini, pada 10 September 1946 melalui undang-undang dilantiklah oleh Sri Ratu sebuah badan namanya Komisi Jenderal. Anggotanya 3 orang terhormat yaitu Dr Schermerhorn mantan perdana Menteri, van Poll (dari KVP) dan de Boer (wakil kaum Liberal). Di Indonesia, mendengar jago-jago Belanda ini, tibullah inisiatip untuk memajukan jagonya juga. Tapi siapa ?. Rupanya pilihan jatuh pada Presiden RI, Soekarno. Bagi Indonesia, tidak ada pilihan lain. Bukankah Soekarno sudah dikenal dunia ?. Reputasinya sudah cukup memenuhi syarat. Maka Dr Soedarsono (Mendagri), memberi tahu fihak Belanda bahwa sehubungan kedatangan Komisi Jenderal untuk berunding, maka Republik Indonesia mencalonkan Soekarno sebagai ketua delegasi. Tapi Belanda menolak dengan halus. Hal ini dibicarakan serius dalam rapat Komis Jenderal dan sempat pula dilaporkan kepada Menteri seberang lautan Jonkman pada tanggal 21 September 1946 (Dokumen OBBNIB no.171, 172, 173 dan 174) Rupanya pihak Belanda amat serius dan berpikir maju mundur karena khawatir akan ada salah pengertian dari pihak Indonesia. Schermerhorm sendiri sampai-sampai menggunakan istilah "Insiden Soekarno". Dengan sangat hati-hati dikatakannya, Walaupun kini Belanda menolak penunjukan Soekarno sebagai ketua delegasi, secara pribadi dia menyatakan kesediaannya untuk berbicara dengan Soekarno dibelakang hari. Prof Schermerhorn menilai bahwa Soekarno adalah pemegang kekuasan yang sebenarnya diwilayah Republik, yang mau atau tidak harus mereka hadapi dikemudian hari. (disarikan dari berbagai sumber, khususnya dari bukuHubungan Indonesia-Belanda periode 1945-1950 oleh Drs Basuki Suwarno. Diterbitkan oleh Dep.Lu 2005)

PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948, AWALNYA
KONFLIK SESAMA GOLONGAN KIRI YANG ANTI IMPERIALIS ?
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng. Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap. Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan Desember 1949).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar